Membahas “ASEAN, HAM dan Kebebasan Berekspresi” CEP CCIT FTUI Menjadi Tuan Rumah Penyelenggaraan Webinar FIRTUAL (Forum Literasi Hukum dan HAM Digital) Kolaborasi DITJEN IKP KOMINFO RI

“Saat ini kita berada dalam masa yang penuh tantangan. Kami dari CEP CCIT FTUI mengapresiasi dan menyambut baik  setiap kegiatan yang meningkatkan literasi digital dan meningkatkan pemahaman  teknologi secara menyeluruh, khususnya IT. Saya berterima kasih kepada KOMINFO yang selalu menginisiasi kerjasama untuk acara seperti ini,” ujar Dr. Muhammad Suryanegara ST, M.Sc., IPU, Direktur CEP CCIT FTUI, mengatakan pada pembukaan webinar “FIRTUAL (Forum Literasi Hukum dan HAM Digital): ASEAN, HAM dan Kebebasan Berekspresi” yang diselenggarakan oleh CEP CCIT FTUI bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (DITJEN IKP KOMINFO RI) pada Rabu 23 Maret 2022. Webinar ini diselenggarakan dalam bentuk hybrid di  Auditorium K301, Fakultas Teknik Universitas Indonesia , dan disiarkan secara langsung melalui aplikasi Zoom Meeting dan channel Youtube  Ditjen IKP Kominfo.

Kebebasan berekspresi telah menjadi hak fundamental bahkan di Indonesia. Kini, dengan  perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, dunia maya menjadi semakin ramai. Hal ini menjadi tantangan baik di Indonesia maupun di seluruh negara anggota ASEAN. Webinar ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman  peserta  tentang hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Menurut Prof.Dr.Drs.H.Henry Subiakto, S.H., M.A. (Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia), di era digital banyak fenomena komunikasi, di antaranya setiap orang bisa menjadi komunikator, menjadi produser berita, menjadi jurnalis, pengamat, komentator, bahkan provokator dll. sekarang orang  hanya bisa bertahan 7 menit untuk tidak mengakses ponsel mereka dan terhubung ke internet rata-rata 3-4 jam sehari  dan ada 204,7 juta pengguna internet di Indonesia dan 4,4 miliar di dunia. Jadi bisa dibayangkan berapa banyak pesan komunikasi yang melalui internet dalam sehari. Kebebasan berekspresi dijamin dalam UUD 1945 tetapi bukan kebebasan absolut sehingga harus ada aturan dan kebenaran bahwa pelanggaran tidak melibatkan tuduhan, fitnah atau provokasi terkait SARA dan sesuai dengan apa yang tercantum dalam UU ITE dikeluarkan sejak tahun 2008.

Rolliansyah Soemirat (Direktur Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia) mengatakan standar internasional tentang kebebasan dan berekspresi didasarkan pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik  (ICCPR) dan Pasal 29 UDHR. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia juga merupakan salah satu yang pertama atau pelopor dalam merumuskan undang-undang tentang kebebasan berekspresi dan khususnya dalam mengatur keamanan dunia maya atau cybercrime, meskipun masih belum ada peraturan internasional yang secara khusus mengatur keamanan dunia maya atau cybercrime, padahal saat ini yang isu tersbut sangat penting.

“Kebebasan berekspresi terkait erat  dengan ujaran kebencian. meskipun keduanya sangat berbeda. Ujaran kebencian adalah segala bentuk komunikasi verbal, tertulis, atau perilaku yang menyerang seseorang atau kelompok atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif ketika mengacu pada seseorang atau suatu kelompok berdasarkan agama, suku atau kebangsaan, asal usul, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin atau faktor identitas lainnya. sedangkan ruang lingkup hak atas kebebasan berekspresi mencakup perlindungan terhadap ekspresi pendapat dan transmisi ide yang mungkin dianggap sangat menyinggung  orang lain, dan ini mungkin termasuk ekspresi yang bersifat diskriminatif dan cara penyebarannya. Hak atas kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak dan negara dapat membatasi hak berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dalam keadaan luar biasa tertentu,” kata Yuyun Wahyuningrum (Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Right/AICHR) dalam presentasinya.

Ada hal lain yang bisa dijadikan acuan standar kebebasan berekspresi, yaitu Part of Civil Liberties yang terdiri dari hak berserikat, hak berkumpul secara damai dan hak kebebasan berekspresi. Dengan ini dinyatakan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak dasar kita. “Kita semua adalah ‘agent of change’, teknologi informasi, teknologi komunikasi memberdayakan kita semua  untuk bisa melakukan perubahan. Karena itu kita harus bisa melihat kebebasan berekspresi tidak hanya sebagai hak tetapi juga sebagai tanggung jawab. bagaimana kita menggunakan kebebasan berekspresi dengan keistimewaan yang kita miliki sebagai manusia, memiliki akses ke sumber informasi untuk memberdayakan orang-orang di sekitar kita dan meningkatkan kualitas hidup tidak hanya untuk  kita tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita,” lanjut Dwi Ardhanariswari, Ph.D . (Akademisi Hubungan Internasional, Universitas Indonesia).


Selengkapnya webinar bisa diakses via : Firtual (Forum Literasi Hukum dan HAM Digital) “ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi”